MAKALAH MUNAKAHAT
Kata
Pengantar ................................................................................................................. i
Daftar Isi ...........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar
Belakang ..................................................................................................................1
Rumusan
Masalah..............................................................................................................1
Tujuan Penulisan................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pernikahan ................................................................................................2
B. Hukun Pernikahan ......................................................................................................2
C.
Tujuan Pernikahan ………………………………………………………………….3
D. Rukun dan Syarat Sah Nikah .....................................................................................3
E. Kewajiban Suami – Istri
………………………………………………………….....5
F. Wanita
yang Haram di Nikahi ....................................................................................6
G.
Talak dan ‘Iddah ……………………………………………………………………9
H. Hikmah
Pernikahan ....................................................................................................11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................................12
B. Saran ..........................................................................................................................12
ii
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻡﺍﷲﺍﻠرﺤﻤﻦﺍﻠرﺤﻴﻡ
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“MUNAKAHAT” ini tepat pada waktunya.
Tidak lupa pula
kami ucapkan terimakasih kepada Bapak
pembimbing yang telah memberikan kami penjelasan dan arahan sehingga
tersusunnya makalah ini.
Manusia memang
tidak pernah luput dari kesalahan sebagaimana manusia biasa. Begitu juga halnya
dengan kami. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, baik dari segi penulisan maupun isi. Kamipun menerima dengan
lapang dada kritikan maupun saran dari pembaca agar kami dapat membenahi demi
kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap
dengan disusunya makalah ini dapat membantu dalam proses belajar maupun
mengajar serta dapat bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa, dan negara.
Medan, Oktober 2013
Penyusun
i
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Manusia diciptakan bukan sekedar untuk hidup
mendiami dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya
pertanggungjawaban kepada penciptaNya. Manusia diciptakan Allah SWT. Untuk
mengabdi dan beribadah kepadaNya. Ibadah merupakan usaha manusia untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan yang disembahnya.
Ibadah adalah perbuatan yang dilakukan sebagai
usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah. Salah satu
ibadah dalam islam adalah pernikahan. Pernikahan merupakan suatu tahapan
penting yang akan dilewati setiap orang islam. Pengetahuan tentang seluk-beluk
pernikahan sangat penting. Pernikahan merupakan fase yang penting sebab Allah
SWT menghendaki lestarinya umat manusia secara turun-temurun melalui pernikahan.
Namun masih banyak orang yang belum mengerti tentang apa itu makna pernikahan.
Padahal pernikahan merupakan amalan yang berpahala besar karena hal itu
merupakan sunah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, pernikahan akan membawa
kebahagiaan kepada umat manusia sekaligus memupuk rasa cinta dan kasih aying.
2. RUMUSAN
MASALAH
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan Munakahat atau
Pernikahan ?
2. Apa
sajakah Hukum, Tujuan, Rukun, dan Hikmah Pernikahan ?
3. Apa
saja kewajiban Suami dan Istri ?
4.
Apakah yang dimaksud dengan Talak dan ‘Iddah?
3. TUJUAN
PENULISAN
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Munakahat
atau Pernikahan.
2.
Untuk mengetahui apa sajakah Hukum, Tujuan, Rukun,
dan Hilmah Pernikahan.
3.
Untuk mengetahui apa saja kewajiban Suami dan
Istri.
4.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Talak dan
‘Iddah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan
pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram
sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan
yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka
disyariatkanlah akad nikah.
Pergaulan antara laki - laki dan
perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan,
keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi
keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling
kedua insan tersebut. Pergaulan yang diikat dengan tali pernikahan akan membawa
mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat
menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi
keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu.
Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya. Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
“Maka kawinilah wanita - wanita
(lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja .” (An - Nisa : 3).
B. Hukum Nikah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah
mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian
ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat
berubah menjadi wajib, sunah, makruh dan haram. Adapun
penjelasannya adalah sebagi berikut :
1.
Jaiz,
artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2.
Wajib,
yaitu orang yang telah mampu atau sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah
khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3.
Sunah,
yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup mengendalikan dirinya
dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4.
Makruh,
yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau
hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-nya.
5.
Haram,
yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang buruk,
seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.
*http://paisman1prambananklaten.blogspot.com/2011/12/kelas-xii-bab-5-pernikahan-dalam-islam.html
2
C. Tujuan Pernikahan
Secara
umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria
terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang
bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum
tujuan pernikahan dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk
memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan
kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya
hidup menjadi bahagia dan tentram. Allah
SWT berfirmanYang Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya. “.(Ar-Rum : 21)
2. Membina rasa
cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk membina kasih
sayang antara suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21 yang Artinya : ”Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang”.)
3. Untuk
memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai oleh Allah SWT.
4. Melaksanakan
Perintah Allah SWT karena melaksanakan perintah Allah SWT maka menikah akan dicatat
sebagai ibadah. Allah SWT, berfirman yang Artinya : ”Maka nikahilah
perempuan-perempuan yang kamu sukai”. (An-Nisa' : 3)
5. Mengikuti
Sunah Rasulullah SAW, mencela orang yang hidup membujang dan beliau
menganjurkan umatnya untuk menikah. Rasulullah bersabda yang artinya:”Nikah
itu adalah sunahku, barang siapa tidak senang
dengan sunahku, maka bukan golonganku". (HR. Bukhori dan
Muslim)
6. Untuk
memperoleh keturunan yang syah. Allah SWT, berfirman yang Artinya : ” Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia ”. (Al-Kahfi : 46)
*http://paisman1prambananklaten.blogspot.com/2011/12/kelas-xii-bab-5-pernikahan-dalam-islam.htm
D. Rukun
dan Syarat Sah Nikah
Akad nikah tidak akan sah
kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini:
1.
Ijab-Qabul
Islam
menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada
mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai
bukti kerelaan kedua belah pihak.
3
Al
Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang
kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat
nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat
ijab-qabul adalah :
1.
Diucapkan dengan bahasa yang
dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
2.
Menyebut jelas pernikahan & nama
mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
1.
Muslim & mukallaf (sehat
akal-baligh-merdeka )
2.
Bukan mahrom dari calon isteri
3.
Tidak dipaksa.
4.
Orangnya jelas.
5.
Tidak sedang melaksanakan ibadah
haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
1.
Muslimah (atau beragama samawi,
tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf
2.
Tidak ada halangan syar’i (tidak
bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
3.
Tidak dipaksa.
4.
Orangnya jelas.
5.
Tidak sedang melaksanakan ibadah
haji.
4. Adanya wali.
Syarat
wali adalah :
1.
Muslim laki-laki & mukallaf
(sehat akal-baligh-merdeka).
2.
Adil
3.
Tidaksedang melaksanakan ibadah
haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:
1.
Ayah
2.
Kakek
3.
Saudara laki-laki sekandung
4.
Saudara laki-laki seayah
5.
Anak laki-laki dari saudara laki –
laki sekandung
6.
Anak laki-laki dari saudara laki –
laki seayah
7.
Paman sekandung
8.
Paman seayah
9.
Anak laki-laki dari paman sekandung
10.
Anak laki-laki dari paman seayah.
11.
Hakim
4
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun
semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi
Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil
agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah :
1.
Muslim laki-laki & mukallaf
(sehat akal-baligh-merdeka).
2.
‘Adil
3.
Dapat mendengar dan melihat.
4.
Tidak dipaksa.
5.
Memahami bahasa yang dipergunakan
untuk ijab-qabul.
6.
Tidak sedang melaksanakan ibadah
haji.
6.
Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
1.
Mahar adalah pemberian wajib (yang
tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik
sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
2.
Mahar wajib diterimakan kepada
isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada atau milik mertua.
3.
Mahar yang tidak tunai pada akad
nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
4.
Mahar dapat dinikmati bersama suami
jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
5.
Mahar tidak memiliki batasan kadar
dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat
istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki
nilai dan bermanfaat. Rasulullah SAW senang dengan mahar yang mudah.
E.
Kewajiban Suami-Istri
1. Kewajiban suami sebagai berikut :
1.
Memberikan kebutuhan hidup, baik materil maupun
spiritual;
2. Melindungi
keluarganya dari berbagai ancaman serta memelihara diri dari keluarganya dari
perbuatan dosa;
3. Mengasihi
istri sebagaimana tuntutan agama;
4. Membimbing
dan mengarahkan keluarga kejalan yang benar;
5.
Sopan dan hormat kepada orang tua, baik
kepada mertua maupun keluarga.
2. Kewajiban istri sebagai berikut :
1.
Menjaga kehormatan diri dan keluarganya ;
2. Membantu
suami dalam mengatur rumah tangga;
3. Mendidik,
memelihara, dan mengajarkan agama kepada anak-anaknya;
4. Sopan
dan hormat kepada orang tua, baik kepada mertua maupun keluarga.
* Haludhi, Khuslan, Abdurraohim. 2007. AGAMA
ISLAM untuk kelas XII Sekolah Menengah Atas. Malang. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri
5
F.
Wanita yang Haram di Nikahi
Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa
22-24:
“Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan dibenci Allah dan
seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengenai)
ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan;
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campuri dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu);, dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari isteri yang telah kamu nikahi (campur) di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa:22-24).
Dalam tiga ayat diatas Allah SWT
menyebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikai. Dengan mencermati firman
Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tahrim, pengharaman’ ini terbagi
dua
1. Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku selama-lamanya),
yaitu seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang laki-laki di segenap
waktu.
2. Tahrim Muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara), jika
nanti keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan ua menjadi halal.
Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Selamanya
1. Perempuan-perempuan yang haram
dinikahi karena nasab adalah :
1. Ibu
2. Anak
perempuan
3. Saudara
perempuan
4. Bibi
dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
5. Bibi
dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
6. Anak
perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak
perempuan saudara perempuan).
6
2. Perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah
adalah :
1. Ibu
istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul
”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya,
maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.
2. Anak
perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala
akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat
(mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan suami ibunya
itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum
bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak
berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3. Isteri
anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar
dilangsungkannya akad nikah.
4. Isteri
bapak (ibu tiri) diharamkan atas anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya
sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
3. Perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.
Allah
SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui
kalian; saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).
Nabi
SAW bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi
haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139
no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud VI:53
no:2041 dan Nasa’i VI:99). Hal.570
Oleh
karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua orang
yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula
dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang lain haram
kawin dengan:
1. Ibu
susu (nenek)
2. Ibu
Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)
3. Ibu
Bapak susu (kakek)
4. saudara
perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)
5. Saudara
perempuan bapak susu
6. cucu
perempuan dari Ibu susu
7. Saudara
perempuan sepersusuan
Persusuan Yang Menjadikan Haram
Dari
Aisyah r.anha bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, ”Tidak bisa menjadikan
haram, sekali isapan dan dua kali isapan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil
no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud VI: 69
no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101).
Dari
Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk ayat Al-Qur’an yang diwahyukan. Sepuluh
kali penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian dihapus ayat yang
menyatakan lima kali penyusuan tertentu sudah menjadi haram. Kemudian
Rasulullah SAW wafat, dan ayat Al-Qur’an itu tetap di baca sebagai bagian dari
Al-Qur’an.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud
VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308 no:1160, Ibnu Majah II:625 no:1942 sema’na dan
Nasa’i VI:100).
7
Dipersyaratkan
hendaknya penyusuan itu berlangsung selama dua tahun, berdasar firman Allah SWT, ”Para
Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233)
Dari
Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah SAW. bersabda, ”Tidak menjadi
haram karena penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus-usus di payudara dan
ini terjadi sebelum disapih.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan
Tirmidzi II:311 no:1162).
Perempuan-Perempuan
Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu
·
Mengumpulkan dua perempuan yang
bersaudara
Allah SWT berfirman, ”Dan
menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada mada lampau.” (An-Nisaa’:23).
·
Mengumpulkan seorang isteri dengan
bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi
SAW bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri
bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari ibunya.” (Muttafaqun
’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz
yang sema’na dan Nasa’i VI:98).
·
Isteri orang lain dan wanita
yang menjalani masa iddah.
”Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).
Yaitu
diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri
orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi
orang yang menawannya setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi
isteri orang lain. Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah SAW merasa
keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka berstatus
isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan
ayat, ”Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami
kecuali budak-budak yang kamu miliki. ’Yaitu mereka halal, kamu campuri
bila mereka selesai menjalani masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:837,
Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan ’Aunul
Ma’bud VI:190 no:2141).
·
Wanita yang dijatuhi talak tiga
Ia tidak halal bagi suaminya yang
pertama sehingga ia kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah. Allah
SWT berfirman, ”Kemudian jika si suami mentalaqnya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali,
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah
:230).
8
·
Kawin dengan wanita pezina
Halal
bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi
seorang perempuan kawin dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali masing-masing
dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha. Allah SWT menegaskan, ’Laki-laki yang berzina
tidak boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik; dan
perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina
atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang
yang mukmin.” (An-Nuur : 3).
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya
dari datuknya bahwa Martad bin Abi Martad al-Ghanawi pernah membawa beberapa
tawanan perang dari Mekkah dan di Mekkah terdapat seorang pelacur yang bernama
’Anaq yang ia adalah teman baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang menemui
Nabi saw. lalu kutanyakan kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya menikah dengan
’Anaq Mak Beliau diam, lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.”
Kemudian Beliau memanggilku kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu
bersabda, ”Janganlah engkau menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i
no:3027, ’Aunul Ma’bud VI:48 no: 2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227).
G. Talah dan ‘Iddah
1. Pengertian Talak
Talak
berarti melepaskan atau menanggalkan dan sering pula disebut dengan istilah
cerai. Menurut istilah, talak atau cerai adalah melepaskan seorang perempuan
dari pernikahannya.
2. Hukum Talak
a. 1. Makruh
adalah hukum asal talak.
2.
Haram adalah hukum talak yang dijatuhkan dalam dua keadaan. Keadaan pertama
adalah ketika istri dalam keadaan suci, tetapi telah digauli dalam waktu suci
tersebut. Keadaan kedua adalah ketika istri dalam keadaan haid
3.
Sunah adalah apabila suami tidak sanggup
lagi menunaikan kewajibannya dalam memberi nafkah dengan cukup atau istri tidak
mampu lagi menjaga kehormatan dirinya.
4. Wajib adalah apabila terjadi perselisihan antara
suami dan istri serta menurut hakim keduanya sudah tidak bisa disatukan lagi
sehingga harus bercerai.
3. Macam-Macam Talak
Kalimat
yang digunakan untuk menalak atau menceraikan :
1.
Sarih (terang) adalah kalimat yang tidak
diragukan lagi kejelasannya bahwa sang suami telah memutuskan ikatan pernikahannya.
Contohnya “engkau saya talak!”, atau “saya ceraikan engkau!”
2.
Kinayah (sindiran) adalah kalimat yang masih
diragukan kejelasannya bahwa sang suami memutuskan ikatan pernikahannya.
Artinya, kalimat itu masih diartikan dengan arti lain. Misalnya, suami berkata,
“pulanglah engkau kerumah orang tuamu.”
9
Kalimat itu tidak
menyatakan secara jelas sang suami bermaksud menceraikan istrinya. Oleh karena
itu, sah tidaknya talak dengan kalimat semacam itu tergantung dari niat sang
suami.
Berdasarkan
boleh tidaknya seorang suami kembali kepada istrinya, talak terbagi menjadi dua:
1.
Talak raj’i adalah talak yang membolehkan suami
rujuk kembali kepada bekas istrinya dengan tidak memerlukan akad
nikah kembali. Talak ini adalah talak pertama dan kedua.
2.
Talak bain adalah talak yang tidak membolehkan
suami rujuk kembali kepada bekas istrinya, kecuali dengan persyaratan tertentu.
Talak ini disebut juga talak tiga. Talak bain terbagi atas dua yaitu:
·
Talak bain sugra adalah talak yang dijatuhkan
kepada istri yang belum dicampuri. Dalam talak bain sugra, suami tidak boleh
rujuk kembali kepada bekas istri. Akan tetapi, mereka boleh menikah kembali,
baik dalam masa idah maupun sesudah masa idah. Dalam hal ini, keduanya harus
melalui akad nikah lagi.
·
Talak bain kubra adalah talak yang tidak
membolehkan suami rujuk atau menikah kembali dengan bekas istri, kecuali
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Allah SWT.
Syarat-syarat itu
tertulis dalam Al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat 230 menurut ayat tersebut,
syarat untuk menikah kembali setelah talak bain kubra adalah apabila bekas
istri telah
1.
Kawin dengan laki-laki lain;
2.
Bercampur dengan suami yang kedua;
3.
Diceraikan oleh suami yang kedua;
4.
Habis masa idahnya dari suami yang kedua;
4.
Pengertian ‘Iddah
Iddah
adalah masa menunggu (tidak boleh menikah) yang diwajibkan bagi perempuan yang
diceraikan oleh suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati. Iddah bagi
perempuan dimaksudkan untuk mengetahui apakah selama masa iddah itu perempuan
tersebut hamil atau tidak, apabila hamil, anak tersebut adalah anak suami yang
menceraikannya.
5. Ketentuan Idah
Ketentuan
iddah adalah sebagai berikut:
1.
Bagi wanita yang sudah dicampuri, sedangkan masih
dalam keadaan haid, iddahnya adalah tiga quru’ (tiga kali suci).
2. Bagi
wanita yang sudah dicampuri, sedangkan ia tidak pernah haid karena masih kecil
atau karena usia lanjut, iddahnya adalah selama tiga bulan.
3. Wanita
yag belum pernah dicampuri tidak memiliki masa iddah.
4.
Iddah bagi perempuan yang dicerai mati dalah empat
bulan sepuluh hari.
*Haludhi, Khuslan, Abdurraohim. 2007. AGAMA
ISLAM untuk kelas XII Sekolah Menengah
Atas. Malang. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
10
G. Hikmah Pernikahan
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu
melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar.
Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi
pelaksananya :
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis
(QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian &
ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan
peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah SAW berkata : “Nikahlah,
supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan membanggakan
banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan
manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah SAW pernah berkata kepada
sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin,
maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.
Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai
wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
penjelasan dan uraian dari tiap bab dan sub bahasan maka dapat kami simpulkan
sebagai berikut :
1. Pernikahan ialah perjanjian
antara seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami- istri menurut
ketentuan-ketentuan agama dengan tujuan untuk mengikuti Sunah Rasulullah SAW
dan dengan syarat-syarat tertentu.
2. Membentuk sebuah rumah tangga,
serta melestarikan keturunan, agar bisa meneruskan generasi dari manusia itu
sendiri.
3. Mencapai kebahagiaan dengan
cara mendidik dan mengarahkan sebuah keluarga, supaya terbentuk keluarga yang
sakinnah, mawaddah dan warahmah agar terhindar dari perzinaan.
B.
Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, kami penyusun mendapatkan masalah tentang pernikahan,
sehingga kami ingin memberikan saran yang berkaitan dengan pokok bahasan
makalah ini:
1. Sebagai umat Islam kita di
sunahkan untuk melakukan pernikahan seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW
2. Kita hidup ditakdirkan
untuk saling berpasangan walaupun tidak boleh menyesali takdir itu.
3. Dalam pernikahan kita diwajibkan
untuk saling menjaga antara suami dan istri. Kita harus bisa saling menjaga
perasaan dan emosi masing-masing.
12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar